Minggu, 17 April 2011

MENJADI JUNDI YANG TAAT DAN CERDAS

(Untuk Kita Renungkan Bersama)
Oleh
Dany Agustian

Sebuah Pengantar
            Seiring bergantinya mihwar dari jama’ah ini dimana setiap mihwar selalu memiliki pahlawannya masing-masing. Hari ini banyak pahlawan-pahlawan da’wah yang sangat cerdas dalam memahami makna da’wah itu sendiri. Namun terkadang kecerdasan yang mereka memiliki mematikan sensitifitas mereka terhadap instruksi dari qiyadah mereka. Bukan hanya cerdas tetapi juga kreatif dalam memaknai sebuah instruksi. Begitu kreatifnya mereka sampai-sampai mereka bukan hanya menolak keputusan para qiyadah tetapi juga menjadi barisan yang menentang bahkan menghancurkan keputusan da’wah yang telah di syuro’kan oleh para qiyadah.
            Banyak yang berargumen bahwa sebelum kita melakukan ketaatan terhadap keputusan jamaa’h, kita harus paham terlebih dahulu terhadap apa keputusan itu. Ketika keputusan itu tidak masuk rasionalisasi kita maka tidak ada keharusan utuk kita melakukan ketaatan terhadap keputusan para qiyadah. Inilah sebuah kesalahan berpikir yang selama ini ada dalam pikiran kader-kader cerdas tadi. Sehingga menjadi PR bagi jama’ah da’wah hari ini untuk tidak hanya memperluas basis pendukung da’wah agar kehendak-kehendak Alloh bisa tersemai di bumi persada ini tetapi juga menjaga serta merubah mainset murobbi maupun mutarobbi yang seperti ini.

Rekonstruksi Konsep Pemahaman Dalam Konteks Ketaatan
            Begitu banyak orang yang menyitir susunan Arkanul Bai’at bahwa prinsip pemahaman adalah sebuah hal yang pertama kali harus di tersemai dalam diri pahlawan-pahlawan da’wah hari ini sebelum beranjak kepada prinip ketaatan. Sebiah argumen yang tidak salah jika dipandang dari konsep islam secara parsial. Namun setelah saya sedikit menganalisa buku Syarah Risalah Ta’lim maka ada sebuah mata rantai yang tidak bisa dipisahkan antara prinsip yang satu dengan sembilan prinsip lainnya.
            Ketika kita berbicara dalam konteks pemahaman dan ketaatan maka sesungguhnya yang saya pahami adalah pemahaman yang Asy Syahid maksud adalah memaknai konsep pemahaman dalam bingkai ketaatan. Artinya ketika kita ibaratkan setiap prinsip adalah himpunan maka prinsip pertama adalah sub himpunan prinsip yang kedua. Begitupun seterusnya. Dalam mengintrepretasikan konsep ini maka kita harus melihat konsep prinsip pertama dalam bingkai prinsip kedua, begitupan seterusnya hingga akhirnya kita mendapatkan bahwasanya kita harus melihat prinsip satu sampai sembilan dalam bingkai prinsip ke sepuluh.
            Selain merekonstruksi konsep tadi konsep lain yang harus kita rekonstruksi adalah “pemahaman” kita akan makna dari ketaatan itu sendiri. Dalam buku syarah risalah ta’lim, Asy-Syahid memandang ketaatan adalah melaksanakan perintah dan merealisasikannya dengan serta merta dalam keadaan sulit maupun mudah; saat bersemangat maupun malas. Tidak ada yang abu-abu dalam pemahaman yang asy shahid berikan semua begitu jelas seperti cahaya matahari di siang hari dan begitu terang seterang sinar bulan yang menerangi gelapnya malam.
            Ketika hari ini banyak yang mengatakan bahwa ketaatan tidaklah mutlak seandainya kita belum paham. Maka sesugguhnya mereka yang berkata seperti ini Belum paham tentang tapan-tahapan dari ketaatan itu sendiri. Dalam buku syarah risalah ta’lim Asy Syahid menjelaskan bahwa tahapan ketaatan ada 3 antara lain
  1. Ta’rif
Bagi orang-orang yang berada dalam fase ini maka tidak ada keharusan untuk melakukan ketaatan terhadap sebuah instruksi
  1. Takwin
Bagi orang-orang yang ada dalam fase ini adalah maka yang harus terpatri dalam hati mereka adalah kalimat sami’na wa atho’na tanpa ada keraguan, bantahan, kebimbagan dan rasa kesal terhadap sebuah instruksi
  1. Tanfizh
Bagi orang-orang yang ada dalam fase seperti ini maka yang harus terpatri dalam hati mereka adalah sikap Ketaatan Sempurna yang paham akan konsekuensi ketaatan yaitu pengorbanan penuh untuk kesuksesan sebuah instruksi
           
            Dari fase-fase yang dijabarkan oleh asy syahid maka saya berkesimpulan bahwa orang-orang yang berkata bahwa ketaatan tidaklah mutlak seandainya kita belum paham maka ia ada di fase ta’rif karena ketika ia mengaku berada dalam fase Takwin atau tanfizh maka sesungguhnya ia paham akan konsekuensi sebuah instruksi yang diberian dari qiyadah kepada mereka.
            Rekonstruksi terakhir yang harus tersemai dalam jiwa seorang jundi bahwasanya dalam berjama’ah diperlukan beberapa orang untuk merumuskan sebuah keputusan da’wah untuk mengunakan Fiqh Muwazzannah guna mengukur sebuah persoalan dalam kacamata kemashlahatan umat yang kita kenal dengan nama majelis syuro’.
            Asy Syahid mendefinisikan mereka sebagai seorang mukmin yang kuat imannya, bertakwa, mengetahui dan kuat melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Amanah dan ikhlas dalam menjalankan tugas. Tidak kasar dan keras hati, tetapi santun, penyabar, dan sangat berhati-hati. Berpikir sebelum bertindak, mengetahui hak-hak manusia yang ada disekitarnya, memahami hak-hak Alloh atas dirinya dan lain sebagainya.
            Namun hari ini tidak banyak orang yang terdefinisi seperti ini. Sehingga hari ini kita harus berbicara untuk mendefinisikan itu semua dengan mengguakan fiqh realitas. Kita hari ini harus yakin bahwa majelis syuro’ yang hadir hari ini adalah orang-orang yang dipilih berdasarkan hasil syuro’ yang telah menggunakan fiqh muwazzannah yang telah dihitung kemashlahatan di dalamnya, terlebih hal itu semua dihasilkan oleh hasil syuro’ yang menurut jama’ah ini sebagai sesuatu yang bersifat tsawabit.
            Realitas tadi seharusnya menyadarkan kita bahwa majelis syuro’ yang hadir hari ini bukanlah yang paling baik, sehingga wajar ketika di dalam setiap pengambilan keputusan ada kekurangan di dalamnya. Namun sebuah kepastian bahwa mereka adalah orang-orang terbaik diantara orang-orang baik lainnya yang diamanahkan untuk memutuskan sebuah persoalan dalam kerangka kemaslahata.

Menginstal Kembali Konsep Ketaatan Dalam Diri Kita
            Ikhwatifilah, Sesungguhnya sikap mendengar dan taat merupakan suatu keharusan dalam sebuah jama’ah. Karena kedua hal tersebut merupakan tulang punggung bagi setiap harokah/jama’ah. Mereka tidak akan dapat menghalau musuh dan mendapatkan kemenangan, jikalau kedua hal tadi menjadi akhlak dasar setiap anggotanya.
            Begitu penting sifat ketaatan sebagai syarat kemenangan da’wah sehingga Alloh meraikaikan sifat itu dengan kata beriman, seperti yang terdapat dalam ayat Al Qur’an Surat An-Nisa Ayat 59

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

                Selain itu Rosululloh bersabda, ”wajib atas seorang muslim mendengar dan taat dalam hal yang ia sukai maupun yang ia benci, kecuali bila ia diperintahkan untuk bermaksiat. Bila ia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada sikap mendengar dan taat terhadapnya.”
                Dari hadits inilah akhirnya saya menyimpulkan bahwa sebagai seorang jundi wajib taat tehadap sebuah instruki dengan syarat bahwa
  1. Instruksi tersebut membuat kita dekat kepada Alloh
  2. Tidak ada perbuatan maksiat terhadap Alloh dalam instruksi tersebut.

Hawa nafsu seorang jundi, keinginannya, atau beberapa kondisi yang tidak mungkin diterimanya sebuah ketaatan karena terkadang jundi melihat bahwa perintah yang harus ia kerjakan tidak beralasan., Meski demikian, semua itu tidak boleh meghalangi ketaatan kita terhadap sebuah instruksi . Seorang jundi harus mendengar dan taat baik dalam keadaan sulit maupun mudah, keadaan giat ataupun malas, bahkan ketika di anak tirikan. Hal ini terjadi karena pemimpin adalah penanggung jawab. Disamping itu, biasanya ia lebih mengetahui situasi yang meliputi motif-motif, dan berbagai alasannya dari pada kebanyakan anggota
Kita bisa belajar dari Kholid Bin Walid yang dengan ikhlas mau menyerahkan estafeta kepemimpinannya kepada Abu Ubaidah karena merupakan instruksi dari Amirul Mukminin walaupun saat itu peprangan sedang berlangsung dengan sengit untuk kemudian sang Kholid melanjutkan perjuangannya sebagai jundi dalam pasukan tersebut.

Bagaimana Mengelola Hasil Syuro’ Para Qiyadah
            Ketika berbicara tentang ketaatan maka ketaatan adalah implikasi dari sepuah keputusan, dan keputusan itu ada berkat adanya syuro’ yang membahas tentang persoalan yang harus segera diputuskan. Menjadi sebuah keniscayaan bahwa keputusan yang diambil bukanlah sebuah keputusan yang disukai oleh setiap orang. Menjadi sebuah kewajaran bahwa perbedaan cara pandang akan ada pada setiap keputusan yang telah ditentukan oleh para qiyadah.
            Pada proses inilah kita memperoleh ”pengalaman tentang keikhlasan” yang baru. Tunduk dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Taat dalam keadaan terpaksa bukanlah sebuah hal yang mudah. Itulah cobaan yang paling berat di sepanjang jalan da’wah ini. Banyak yang berguguran dari jalan da’wah ini, salah satunya adalah masuk dalam barisan sakit hati karena mereka gagal mengelola ketidaksetujuannya terhadap hasil syuro’.
            Jika kita tentang berbicara tentang kasus yang lebih ringan yaitu keputusan yang diambil oleh para qiyadah adalah keputusan yang mengambang dan tidak begitu jelas sehigga membuat kita bingung terkait apa yang harus kita lakukan untuk menyukseskan keputusan itu. Hal inipun merupakan bagian dari bagaimana kita mengelola hasil syuro’ para qiyadah. Setidaknya untuk menyelesaikan dua kasus diatas yang membuat hati kita (yang tidak setuju ataupun bingung terhadap hasil syuro’) berada pada suasana tidak nyaman. Kita bisa beberapa hal
  1. Ketika kita tidak setuju dengan hasil syuro’ maka tanyakan kembali kepada hati kita mengapa kita tidak setuju dengan hasil tersebut. Apakah kita menolaknya karena memang tidak sesuai dengan rasionalitas da’wah atau karena egoisme/obsesi jiwa kita yang menganggap diri kita lebih cerdas dibandingkan para qiyadah yang ada saat ini.
  2. Ketika kita tidak sepakat dengan keputusan syuro’ maka jangan pernah menjadi penentang keputusan itu. Ber-Tabayyun-lah dengan para qiyadah yang memutuskan keputusan itu. Ketika memang informasi yang disampaikan tidak memuaskan hati kita maka cukupkan proses kita untuk ber-Tabayyun karena memang itu menjadi hak seorang qiyadah dan memang penjelasan qiyadah bukanlah sebuah hal yang dijadikan alat pemuas hati para jundi yang melakukan tabayyun kepada mereka.
  3. Orang yang mempunyai pendapat berbeda, tetapi tidak boleh lagi membicarakannya di tengah-tengah barisan, meskipun pengalaman membuktikan bahwa pendapatnya itu lebih tepat. Kesatuan barisan pada suatu yang benar itu lebih baik dari pada berpecah belah disekitar yang lebih tepat. Sebab kesatuan langkah pada suatu syuro’ akan dapat menyampaikan jama’ah pada sasaran. Sebaiknaya bila terjadi perpecahan, maa tiada mungkin dapat menghasilkan kesepakatan pada kebenaran, apalagi kepada yang lebih tepat.
  4. Seandainya kemudian pilihan syuro’ itu memang terbukti salah dan keputusan kita yang benar maka pantang bagi kita untuk menyalahkan para qiyadah karena mereka menghasilkan sebuah keputusan/ijtihad melalui hasil syuro’ yang telah dipertimbangkan mashlahatnya.
  5. Jikalau seorang qiyadah memberikan arahan yang tidak jelas diakibatkaN karena keterbatasan kemampuan mereka maka ada dua pilihan untuk menyelesaikannya yang pertama meminta penjelasan ke mereka seraya tidak membicarakan kekurangan mereka di depan orang lain karena bisa menurunkan ’izzah seorang qiyadah ataupun berinisiati/bercerdas-ria untuk memaknai arahan yang diberikan oleh qiyadah. Lakukan apa yang kita tafsirkan terhadap arahan tadi, menjadi sebuah kepastian bahwa ketika memberi arahan seorang qiyadah yang cerdas akan mengawasi jundinya dalam menafsirkan arahan dari mereka. Ketikapun yang kita (baca:Jundi) lakukan salah maka qiyadah akan memberikan arahan kembali sehingga menuntut seorang jundi untuk kembali bercerdas-ria untuk menafsirkan arahan ini
  6. Seandainya begitu banyak arahan yang diberikan oleh seorang qiyadah sehingga membuat seorang jundi berpikir ini tidak mungkin dilaksanakan maka tugas seorang jundi adalah memberikan pertimbangan biarkan para qiyadah yang memutuskan.
  7. Laksanakan semua itu dengan senyuman karena senyuman adalah bentuk keikhlasan kita dalam menjalankan sebuah amanah. Pikiran kita begitu tidak nyaman dalam menjalankan sebuah keputusan karena memang hatii kita tidak ikhlas mengerjakan itu semua. Maka rubahlah maindset berpikir kita dari menyalahkan para qiyadah, bergumam akan keputusan qiyadah yang tidak sesuai dengan kemauan kita, menjadi apa yang harus kita lakukan untuk mensukseskan arahan dan keputusan ini seraya mencari hikmah yang terpendam terhadap keputusan qiyadah jama’ah ini.
  8. ketika hati ini harus menangis karena ”omelan” qiyadah maka jangan melihat sisi negatifnya tapi lihatlah sisi positif seraya meminta kepada Alloh agar menguatkan pundak kita dalam menerima dan menjalankan keputusan ini

Sebuah Penutup
            Ikhatifillah hari ini Jama’ah yang akan melaksanakan tugas yang besar tidak mungkin dapat melaksanakannya bila kepemimpinannya tidak mendapatkan hak untuk ditaati oleh orang-orang yang berafiliasi kepadanya. Oleh karena itu sematkanlah di dalam hati-hati kita sebagai prajurit hari ini bahwa ketaatan merupakan bagian dari keimanan dan merupakan sebuah syarat kemenangan dalam sebuah perjuangan. Cukuplah kekalahan dalam perang uhud yang memberikan ibroh kepada kita tentang urgensi sebuah ketaatan kepada seorang pemimpin. Semoga Alloh memberikan begitu banyak hikmah dari setiap pembangkangan kita terhadap instruksi seorang pemimpin maupun ketaatan kita terhadap instruksi seorang pemimpin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar