Selasa, 19 April 2011

IKHLAS DALAM BEKERJA

(Untuk Kita Renungkan Bersama)
Oleh
Dany Agustian

Dari Umar bin Khattab dia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “(Nilai) amal itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh (balasan amal) berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka berarti hijrahnya (bernilai sebagai hijrah) karena Allah dan Rasul-Nya. Tetapi barangsiapa hijrahnya karena kepentingan duniawi yang hendak ia raih, atau wanita yang hendak ia nikahi, maka nilai hijrahnyaya hanya sesuai dengan niat hijrahnya itu.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Niat merupakan sebuah keharusan dalam melakukan sebuah perbuatan. Sebaik-baiknya niat adalah melakukan suatu perbuatan yang murni dan tidak bercampur dengan niat-niat lainnya, tidak juga mengharapkan pujian serta balasan dari manusia tetapi meniatkan itu semua semata-mata hanya untuk Allah Swt. Niat seperti itulah yang kita namakan Ikhlas

Ada banyak alasan mengapa kita harus ikhlas. Pertama, keikhlasan merupakan salah satu syarat diterimanya amal (syarth qabul al-’amal). Sebagaimana diketahui syarat-syarat diterimanya amal seorang mukmin adalah dilakukan dengan ikhlas dan juga benar. Imam Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan ahsanu’amalan dengan kata-katanya: “Jika kita beramal dengan ikhlas tetapi tidak benar niscaya tidak akan diterima. Demikian pula jika kita beramal dengan benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Amal kita harus dilakukan dengan ikhlas sekaligus benar agar diterima oleh Allah Ta’ala“.

Kedua, keikhlasan merupakan faktor utama yang bisa mendatangkan taufiq Allah (‘amil jalbi taufiqillah). Dengan berlaku ikhlas, kita akan mendapatkan limpahan barakah Allah. Demikian pula, ketika kita ikhlas maka Allah akan menyertai dan memberikan kemudahan kepada kita. Inilah taufiq dari Allah, yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas.

Ketiga, keikhlasan merupakan faktor istimewa yang bisa membuahkan keberhasilan dan kesuksesan (‘amil an-najah). Ketika kita ikhlas, Allah akan menyertai dan memudahkan kita. Inilah yang kemudian akan membawa kita kepada keberhasilan dan kesuksesan. Jika Allah yang menghendaki keberhasilan bagi kita, apakah ada yang bisa mencegahnya?.
Keempat, keikhlasan adalah salah satu faktor utama penjaga keistiqamahan dalam amal dan ibadah. Karena jika seseorang beramal dan beribadah karena dorongan faktor riya’, misalnya karena ingin dilihat, ingin dipuji, dan seterusnya, yang jelas ingin ini dan itu dari manusia, maka amal dan ibadahnya itu akan otomatis berhenti ketika faktor-faktor itu semua tidak ada. Sedangkan jika amal dan ibadahnya ikhlas murni karena Allah, maka keistiqamahan pun akan terjaga, karena Allah selalu ada, dan terus mengawasi tanpa henti.

Kelima, keikhlasan merupakan faktor yang bisa mendatangkan kekuatan (‘amil al-quwwah). Ikhlas itu ibaratkan pohon yang menghasilkan buah kekuatan baik berupa kekuatan fisik maupun rohani.

Seseorang dinilai telah ikhlas dalam amal ibadahnya, jika ia mendasarkannya pada tiga hal: al-mahabbah, ar-raja’, dan al-khauf. Al-Mahabbah (cinta) disini artinya beribadah atas dasar dorongan dan motivasi cinta kepada Allah, yang merupakan salah satu bukti, ekpresi dan implementasi keimanan yang ideal.

Ar-Raja (harap/pamrih) artinya beribadah atas dasar dorongan dan motivasi rasa harap pada karunia, rahmat dan imbalan yang baik dan banyak berlipat-lipat dari Allah. Dan itu meliputi tidak hanya balasan-balasan ukhrawi saja, tapi juga termasuk balasan-balasan duniawi sekaligus.

Adapun Al-Khauf (takut) artinya beribadah atas dasar dorongan dan motivasi rasa takut pada Allah, yakni pada murka-Nya, pada adzab-Nya, pada neraka-Nya, pada ancaman-Nya, pada pembalasan buruk bagi si pelaku dari-Nya, dan selanjutnya. Dan itu juga tidak terbatas pada rasa takut akan pembalasan-pembalasan buruk di akherat saja, namun juga mencakup rasa takut akan pembalasan-pembalasan buruk di dunia.

Jadi beramal dan beribadah ikhlas karena Allah Ta’ala itu maksudnya, beramal dan beribadah karena dorongan rasa cinta (mahabbah) kepada-Nya, atau karena dorongan rasa harap (raja) alias pamrih kepada segala rahmat, karunia dan pemberian dari Allah, baik yang bersifat ukhrawi maupun dun-yawi, atau karena motivasi rasa takut (khauf) terhadap semua bentuk pembalasan buruk (atas dosa-dosa) dari Allah, baik ukhrawi maupun dun-yawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar